Wednesday, May 7, 2008

Jahe enak berkhasiat juga

Jahe merupakan rimpang dari tanaman bernama ilmiah Zingiber Officinale Roscoe. Tanaman jahe berasal dari Asia Pasifik dan tersebar dari India sampai Cina. Di dunia perdagangan, penanaman jahe berdasarkan daerah asalnya, misalkan jahe Afrika, jahe Chochin atau jahe Jamika. Sejak 250 tahun yang lalu, di Cina Jahe sudah digunakan sebagai bumbu dapur dan obat. Di Malaysia, Filipina, dan Indonesia jahe banyak digunakan sebagai obat tradisional. Sedangkan di Eropa pada abad pertengahan, jahe digunakan sebagai aroma pada bir.

Jahe sering kita temui sehari-hari. Banyak manfaat yang kita dapat dari penggunaan jahe. Diantaranya sebagai bumbu masak, pemberi aroma, dan rasa pada roti, kue, biscuit, kembang gula, serta berbagai minuman (bandrek, sekoteng, dan sirup). Jahe juga dapat digunakan pada obat tradisional sebagai obat sakit kepala, obat batuk, masuk angin,untuk mengobati gangguan pada saluran pencernaan, stimulansia, diuretik, rematik, menghilangkan rasa sakit, obat antimual dan mabuk perjalanan, karminatif (mengeluarkan gas dari perut), kolera, diare, sakit tenggorokan, difteria, neuropati, sebagai penawar racun ular dan sebagai obat luar untuk mengobati gatal digigit serangga, keseleo, bengkak serta memar.

Berdasarkan beberapa referensi, baik jurnal ilmiah dan majalah popular, disebutkan bahwa jahe dapat mencegah dan mengobati migrain, hepatotoksik, luka bakar, sakit kepala, menurunkan kadar kolesterol, obat rematik, tukak lambung, antidepresi, dan mengobati impotensi. Meski demikian, semua khasiat jahe tersebut masih belum cukup bukti ilmiah, sehingga perlu dilakukan uji secara ilmiah pula.

Rimpang Jahe
Hasil uji farmakologi menunjukkan bahwa jahe mempunyai aktivitas sebagai antiinflamasi. Uji laboratorium menunjukkan bahwa ekstrak jahe dalam air panas menghambat aktivitas siklooksigenase dan lipoksigenase sehingga menurunkan kadar prostaglandin dan leukotriena (mediator inflamasi). Pemberian secara per oral dari ekstrak jahe pada tikus menurunkan udema (bengkak).

Suatu penelitian di Cina melaporkan bahwa pada 113 penderita rematik dan sakit punggung kronis yang disuntik 5-10% ekstrak jahe memberikan efek pengurangan rasa sakit, menurunkan pembengkakan tulang sendi. Pemberian secara per oral serbuk jahe pada penderita rematik dan musculoskeletal dilaporkan menurunkan rasa sakit dan pembengkakan.

Khasiat lain adalah sebagai antiemetic (antimuntah) dan sangat berguna pada ibu hamil untuk mengurangi morning sickness. Suatu penelitian melaporkan bahwa jahe sangat efektif menurunkan metoklapamid senyawa penginduksi nusea (mual) dan muntah. Menurut komisi E (Germa Federal Health Agency) jahe efektif untuk mengobati gangguan pencernaan dan pencegahan gejala motion sickness.

Kandungan senyawa kimia pada jahe adalah minyak atsiri yang terdiri dari senyawa-senyawa seskuiterpen, zingiberen, bisabolena, sineol, sitral, zingiberal, felandren. Disamping itu, terdapat juga sagaol, gingerol, pati, damar, asam-asam organic seperti asam malat dan asam oksalat, Vitamin A,B, dan C, senyawa-senyawa flavonoid dan polifenol.

Minyak atsiri yang terkandung dalam jahe antara 1 sampai 3 %. Oleoresin (campuran dari minyak atsiri dan resin) sebagai zat aktif untuk mengobati batuk, penurun panas, dan analgetik. Penelitian lebih lanjut dari kandungan kimia dan efek farmakologi dari jahe masih sangat diperlukan untuk mengetahui khasit atau kegunaan lain dari jahe.

Jahe di pasaran dikemas dalam bentuk kapsul yang mengandung 500 mg serbuk jahe atau dalam bentuk Kristal jahe. Di Asia, jahe diolah dalam bentuk minuman seduh atau kembang gula. Sedangkan di Indonesia jahe dapat ditemukan dalam bentuk minuman seduh dan salah satu komponen jamu.

wisarta kuliner

Wednesday, April 2, 2008

ubi jalar-manis bisnisnya


Maret 2007 Eddy Prijono pensiun pada usia 53 tahun. Alih-alih kesibukannya berkurang, justru kian meningkat. Mantan karyawan Telkom itu kini rutin memasok pasar swalayan dan produsen olahan ubijalar, 4-5 ton per bulan dengan harga Rp8.700 per kg. Eddy meraup omzet Rp43-juta per bulan. Pendapatan itu jauh lebih besar ketimbang saat ia bekerja sebagai karyawan di perusahaan plat merah itu.

Eddy Prijono hanya memasok ubijalar cilembu yang manis legit. Ubijalar itu dikembangkan di Kecamatan Pamulihan, Rancakalong, dan Tanjungsari, semuanya di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Hasil panen para pekebun ia beli seharga Rp4.000-Rp5.000 per kg. Satu kg terdiri atas 2-3 umbi. Anggota famili Convolvulaceae itu lantas dikirim ke produsen penganan di Jawa Timur dan Malang. Eddy memperoleh harga Rp8.700 per kg, termasuk ongkos kirim dari Sumedang ke Surabaya. Menurut Eddy biaya pengiriman mencapai Rp300 per kg.
Laba bersih yang diterima pria kelahiran 1954 itu Rp3.400 per kg atau total Rp13-juta per bulan. 'Di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak ada ubi cilembu,' katanya. Itu peluang baginya. Oleh karena itu saat masih menjadi karyawan Telkom Bandung ia merintis pasar, pada 1998. Setiap kali berdinas ke Surabaya atau Malang, mobilnya dipenuhi ubijalar: ada yang matang, tetapi sebagian besar mentah. Ia menawarkan kepada pasar swalayan dan produsen penganan. Kebetulan pada 2004 Eddy dipindahtugaskan ke Surabaya. Ia semakin leluasa berbisnis umbi kerabat kangkung itu.

Saat ini volume pasokan berkisar 4-5 ton per bulan. Salah satu produsen penganan berbahan baku ubijalar adalah Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT) Malang yang mengelola Bakpao Telo. 'Setiap bulan perusahaan itu memerlukan 4 ton telo alias ubijalar sebagai bahan baku bakpao', katanya.
Semua pasokan mengandalkan produksi para pekebun yang dibinanya sejak 10 tahun lampau. Eddy menerima seluruh panen pekebun dengan syarat: umbi sehat, bebas serangan hama dan penyakit, warna kulit kuning gading, berurat, diameter sekitar 7 cm, dan bentuknya lurus.
Dengan sistem kemitraan itu, pekebun juga merasa untung. Menurut Maman Rukmana, pekebun ubijalar di Kecamatan Pamulihan, Sumedang, biaya untuk memproduksi 1 kg ubijalar cilembu hanya Rp1.500. Artinya, jika Eddy membelinya Rp5.000, pekebun plasma memperoleh laba Rp3.500/kg. 'Keuntungannya masih cukup tinggi,' kata Maman. Harga stabil
Maman membudidayakan ubijalar di lahan 1.000 m2, warisan orangtuanya. Hasilnya 1,2 ton tandas diborong pedagang. Harganya pun stabil, tak seperti sayuran lain yang harganya anjlok ketika produksi melimpah di pasaran.

Sedikit demi sedikit lahan Maman bertambah seiring meningkatnya pamor ubi cilembu. Kini luas lahannya mencapai 1 ha. Dengan jarak tanam 10 cm x 15 cm, total ada sekitar 600.000 tanaman di lahan seluas itu. Dalam 4 bulan Maman akan memanen 12 ton ubijalar.
Saat ini total permintaan setiap minggu mencapai 9 ton. Permintaan datang dari eksportir di Jakarta dan pengepul di Surabaya. Sayang, Maman baru sanggup memenuhi 3,5 ton saja. 'Itu pun sudah bekerja sama dengan pekebun lain,' kata Maman. Karena jika mengandalkan hasil panen sendiri, tentu tidak akan mampu memenuhi banyaknya permintaan.
Salah satu pekebun mitra adalah Ayit di Rancakalong, Sumedang. Pria 39 tahun itu sebelumnya hanya menanam padi. Karena kerap merugi ketika harga anjlok, ia beralih mengebunkan ubijalar. Ubijalar dibudidayakan di lahan 2.000 m2. Dari lahan seluas itu, Ayit memanen 2-2,5 ton.
Dengan harga jual Rp3.000/kg, pria yang berkebun sejak 1990-an itu memperoleh omzet Rp6-juta-Rp7,5-juta per musim tanam. Setelah dikurangi biaya produksi Rp3,5-juta, Ayit mengutip laba bersih Rp2,5-juta-Rp4-juta per musim tanam atau Rp625.000-Rp1,8-juta/bulan.Sarat gizi
Ubijalar kerap dipandang sebagai penganan kelas 2. Padahal, sebetulnya umbi itu kaya gizi. Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Universitas Pasundan dan Fakultas Pertanian Universitas Winayamukti, Bandung, ubijalar mengandung 60,72% karbohidrat, 1,4% protein, 0,7% lemak, 14,16% gula total, 8,47% sukrosa 80 mg/100 gram vitamin C, 0,4 mg/100 gram riboflavin, 0,6 mg/100 gram niacin, dan 0,1 mg/100 gram tanin.
Dengan diolah menjadi penganan eksklusif, masyarakat pun tak sungkan mengkonsumsinya. Apalagi khasiatnya juga beragam. Oleh karena itu permintaan terhadap ubijalar pun meningkat. Bahkan, ubijalar Cilembu kini masuk pasar mancanegara. Sejak 2003 Singapura dan Jepang meminta pasokan boled-sebutan ubijalar di tanah Sunda. Singapura minta dipasok minimal 3 ton per minggu, sedangkan Jepang 12 ton per 2 minggu.
Jenis yang diminta tak hanya cilembu, tapi juga ubijalar lain seperti marasaki yang berwarna ungu. Sumaji, misalnya setiap hari harus keliling kampung di Nongkojajar, Pasuruan, Jawa Timur, untuk mencari pekebun yang tengah panen marasaki. Sehari ia harus memperoleh 1-2 ton ubijalar untuk memenuhi permintaan pedagang dan pabrik. Dengan harga jual Rp1.300 per kg, setidaknya omzet Rp1.300.000 memenuhi pundi-pundi kantongnya setiap hari. Sumaji mengutip Rp300/kg, sehingga pendapatan bersihnya Rp9-juta per bulan.
Permintaan juga datang dari daerah lain seperti Bandung, Jakarta, sampai Sumatera yang mencapai lebih dari 50 ton per bulan. Itu belum termasuk permintaan dari pabrik getuk di Malang yang minta dikirim 100 ton per 6 bulan. Karena itu ia juga menampung hasil panen pekebun di Pacet, Trawas-keduanya di Mojokerto-Blitar, dan Dampit. Ubi yang ditampung harus bebas hama penyakit dan berukuran minimal 200 gram. Pewarna
Manisnya bisnis ubijalar bukan berarti tanpa kendala. Jika penanaman dilakukan pada musim pancaroba, ubi rentan terserang hama lanas. Lanas hama yang paling banyak menyerang ubijalar. Serangan hama itu mampu menyebabkan kerugian bagi pekebun ubi. Maman misalnya, pada Juni 2006 rugi sampai Rp17-juta akibat serangan hama itu. Gawatnya lagi, hama itu belum ditemukan cara pengendaliannya.
Padahal bila hambatan teratasi, pasar ubijalar terbuka. Tak hanya pasar domestik, tapi juga pasar ekspor. Misalnya Luki Budiarti, eksportir di Malang. Sejak 2002 ia memasarkan marasaki ke Okinawa, Jepang. Kebetulan teman dari rekan bisnis Luki sedang mencari ubi untuk diolah di Jepang. Yang dicari adalah ubijalar ungu yang sudah matang. Selain sebagai bahan penganan, ubi itu juga dijadikan sebagai zat pewarna makanan.

Awalnya Luki hanya sanggup mengirim 2 kali dalam setahun, masing-masing 15 ton sekali kirim. 'Barangnya masih belum banyak,' kata Luki. Pada 2004 ia mulai bisa mengirim ubi setahun 3-4 kontainer berkapasitas 26 ton. Bahkan pada 2007 lalu, ia mampu mengirim lebih dari 4 kontainer. Dengan harga jual Rp9.000 per kg, setidaknya pendapatan tiap kontainer mencapai Rp250-juta. Luki pun mengakui manisnya keuntungan dari ubi manis.

source : trubus (Lani Marliani/Peliput: Nesia Artdiyasa)